MENYINGKAP MAKNA KITAB BARINCONG DALAM AJARAN SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang lahir pada tahun 1122 H hingga meninggalnya tahun 1227 H telah menggunakan sebagian besar dari umurnya untuk usaha-usaha penyebaran dan pembinaan ajaran Islam di Kalimantan Selatan. Selama lebih dari 30 tahun Muhammad Arsyad belajar dan memperdalam ilmu agama di Mekah dan Madinah. Kemudian selama kurang lebih 40 tahun sampai dengan meninggalnya Syekh Muhammad Arsyad telah mencurahkan perhatian dan pikiran serta tenaga untuk menyiarkan ajaran Islam di daerah Kalimantan Selatan.
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam ajarannya menyeimbangkan antara hakikat dan syariat. Pandangan Syekh Muhammad Arsyad ini dapat dihubungkan dengan suatu ceritera lisan dalam masyarakat Banjar tentang pertemuan Syekh Muhammad Arsyad waktu bermukim di Mekah dengan seseorang asal Banjar di Masjidil Haram ketika akan melaksanakan shalat Jumat.
Ketika itu Syekh Muhammad melihat seseorang yang dari pakaian dan wadah berupa "butah" yang dibawanya menunjukkan tanda-tanda orang dari daerah Banjar. Melalui salam perkenalan, orang yang kemudian hari dikenal sebagai Datu Sanggul (Datu Muning) ini mengatakan kalau ia datang ke Masjidil Haram hari itu hanya untuk bershalat Jumat dan akan segera kembali setelah shalat selesai, Dan ia bersedia akan membawakan buah cempedak atas pesanan Syekh Muhammad Arsyad pada hari Jumat yang akan datang. Dan pada hari Jumat berikutnya seperti yang dijanjikan mereka pun bertemu dan kepada Syekh Muhammad Arsyad orang tersebut menyerahkan buah cempedak yang tangkainya masih ada getahnya sebagai tanda baru saja dipetik dari pohonnya.
Dari peristiwa itulah Syekh Muhammad Arsyad menyadari tentang ketinggian hakikat yang diberikan Allah SWT kepada orang yang dikehendakinya. Yang dalam masyarakat awam mengenal seseorang tersebut sebagai waliullah.
Tetapi Muhammad Arsyad dalam ajarannya kemudian menyikapi segala hal dalam kehidupan ini menyeimbangkan atau bisa juga menyatukan antara hakikat dan syariat. Bukankah Allah SWT menjanjikan akan memberikan sesuatu, kekayaan misalnya, kepada orang yang meminta kepada-Nya. Tapi dalam ajarannya Syekh Muhammad Arsyad menganjurkan orang perlu berusaha dan bekerja untuk mewujudkan sesuatu yang dimintanya kepada Allah SWT.
Sehubungan dengan itulah dalam masyarakat Banjar juga ada dikenal tentang Kitab Barincong. Kitab berbentuk segi tiga, yang apabila dua Kitab Berincong tersebut disatukan maka akan menjadi sebuah kitab yang utuh. Sebagai sebuah perlambang bahwa dalam kehidupan manusia harus selalu memohon kepada Allah dan berbuat untuk mendapatkannya.
Ajaran Syekh Muhammad Arsyad yang menyeimbangkan antara hakikat dan syariat ini banyak pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan. Di daerah ini segala aliran kebathinan yang dianggap ingin lari dari dunia kenyataan, sangat ditentang oleh masyarakat. Umat Islam di daerah ini umumnya menyadari bahwa hidup ini perlu perjuangan. Orang tidak bisa hidup secara layak hanya dengan pasrah menanti rezeki yang dijanjikan Tuhan tanpa melalui suatu usaha. Sebaliknya dalam melaksanakan segala usaha perjuangan hidup ini, mereka tidak melupakan agar diberi dan diberkahi oleh Tuhan sebagai pemilik segala-galanya.
Dalam masalah kehidupan Syekh Muhammad Arsyad telah memberikan contoh untuk tidak meninggalkan syariat dalam kehidupan ini. Ia telah mengajarkan usaha-usaha bertani yang sebenarnya kepada murid-murid pengajiannya. Apa yang diajarkan dan dipraktekkan oleh Syekh Muhammad Arsyad bersama-sama dengan murid-muridnya tersebut, merupakan bukti bahwa mereka telah memegang teguh firman Tuhan yang menyatakan bahwa nasib sesuatu kaum itu tidak akan berubah kalau kaum itu sendiri tidak berusaha merubahnya.
Ajaran yang menyeimbangkan antara hakikat dan syariat ini dapat mendorong setiap pemeluk Islam untuk selalu berjuang menghadapi tantangan hidup ini. Apalagi mereka ingat akan sumbernya yaitu dari Tuhan Yang Maha Esa. Maka mereka yang memiliki dasar-dasar ajaran agama dan berhasil dalam perjuangan hidup ini, akan dapat terhindar dari sifat-sifat serakah, sombong dan takabur.
Dengan demikian motto kehidupan seperti yang ditanamkan oleh Syekh Muhammad Arsyad kepada murid-muridnya, yaitu di samping menuntut ilmu agama juga mengerjakan pertanian, sesuai dengan Hadits Nabi yang menyebutkan bahwa manusia harus bekerja dan berjuang untuk kehidupan dunia seolah-olah ia akan hidup kekal di dalamnya, tetapi ia juga harus beribadah menuntut keredhaan Tuhan seakan-akan ia akan mati esok hari.
Namun kenyataannya dalam masyarakat sejak dulu juga masih ada ditemukan orang-orang terjebak dalam dogma yang memandang hidup ini sekedar menjalani ketentuan yang telah ditakdirkan. Pemahaman terhadap pengertian takdir yang dangkal membuat sebagian orang berbuat dalam menghadapi kehidupan ini dengan seadanya saja. Mereka dari kelompok masyarakat dimaksud tidak ulet dan bersungguh-sungguh dalam perjuangan hidup, tetapi hanya semata-mata berserah diri dengan nasib yang dihadapinya. Karena itu mereka merasa tidak perlu bekerja keras dalam hidup ini, sehingga umumnya tidak melakukan usaha yang maksimal untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan bahkan juga kurang berhati-hati dengan musibah yang akan menimpa nya. Hal itu karena keyakinan bahwa yang akan mereka jalani sudah merupakan ketentuan yang tidak bisa dirubah. Padahal Allah SWT menyuruh kita berdoa "ud 'uni astajib lakum" mintalah kepada-Ku akan kuperkenankan untukmu, serta sunnah Rasulullah SAW yakni bekerja untuk duniamu dan beramal untuk akhiratmu.
Syekh Muhammad Arsyad dalam kehidupannya dan ajarannya mencontohkan, bahwa beliau sebagai seorang ulama di samping mengajar dan menyebarkan ilmu agama Islam, beliau juga membimbing dan bekerja bersama murid-muridnya mengerjakan usaha pertanian. Bahkan telah menerapkan sistem pengairan dalam mengolah pertanian padi.
Sejarah telah mencatat bahwa Syekh Muhammad Arsyad lah pemerakarsa penggalian saluran air yang menghubungkan tanah persawahan dengan Sungai Martapura untuk mengatur air di persawahan di lingkungan Kampung Dalam Pagar waktu itu. Karena itulah sungai yang digali dan diprakarsai Syekh Muhammad Arsyad bersama dengan masyarakat tersebut kemudian dikenal sebagai Sungai Tuan (Tuan Guru panggilan masyarakat bagi seorang ulama).
Ini merupakan bukti bahwa ajaran Syekh Muhammad Arsyad menentang kehidupan bermalas-malas dan menerima takdir tanpa perjuangan. Syekh Muhammad Arsyad telah mencontohkan pribadi Muslim yang taqwa kepada Allah SWT, pembina dan penyebar ajaran agama serta pemimpin yang produktif dalam usaha-usaha yang diredhai oleh Allah SWT.
(HRN peneliti sejarah & nilai tradisional).